MEMUPUK JIWA ALTRUIS

 


MEMUPUK JIWA ALTRUIS

Sabtu pagi, kami beranjak dari homestay masing-masing menuju pasar  semi kakilangit di Mangunan Yogyakarta. Kami berbaur dengan ratusan orang yang hadir dari seluruh penjuru Nusantara. Kebetulan kami semua dalam rangkaian kegiatan yang sama.

Disambut dengan pedagang yang ramah dan nyeni di lapak-lapak penjaja makanan. Pagi itu konsep sarapan peserta oleh panitia lokal memang disediakan di pasar semi kakilangit.

Berhamburan orang lalu lalang memilih menu sesuai selera. Kemudian memilih lincak, gazebo maupun gubug-gubug yang tersedia untuk tempat menikmati sajian kuliner.

Disela-sela obrolan para pengunjung, terdengar jelas suara iringan gejog lesung. Panggung pementasan terletak diujung pasar.  Menambah exotisme suasana pedesaan yang asri.

Para pemain gejog lesung adalah mereka yang rata-rata berusia senja. Hanya ada satu gadis belia yang menonjol. Sebagai pengiring suara sekaligus memandu acara. Bagaikan sekuntum bunga mekar di tengah pepohonan tua. 

Kami kebetulan berada di ujung dekat gerbang masuk. Jauh dari lokasi panggung gejog lesung. Alunan nada gejog lesung berhenti. Kami yang diujung tidak tahu apa yang terjadi.

Tiba-tiba keriuhan terjadi. Tampak mas Agung, temen kami dari Lenggongsono, Malang Selatan lari tergopoh-gopoh. Dia membopong seorang nenek yang rupanya pemain gejog lesung.

Nenek tersebut jatuh ditengah permainan gejog lesung. Suasana menjadi gaduh sejenak. Mas Agung tanpa mempedulikan kondisi. Ternyata kakinya membentur pondasi saat mengevakuasi nenek tersebut.

Sebuah sikap altruisme dari mas Agung yang sangat mengesankan. Altruisme sendiri merupakan sikap mementingkan orang lain, tanpa menghiraukan imbalan.

Altruisme menjadi kebajikan emas dari orang yang terbiasa melayani orang lain. Ini bukan sikap yang instan, namun endapan dari proses panjang seseorang dalam pengabdian.

Betapa diera merebaknya egoisme dan hedonisme, perilaku altruis menjadi oase. Masa dimana kecurigaan menjadi basis penilaian. Sehingga orang yang altruis bisa disalah artikan oleh orang lain.

Sosok sentral mas Agung tentang pembelajaran altruisme sangat mencolok. Betapa ditengah ratusan orang yang berkerumun disekitar lokasi. Beliau yang dipilih dan digerakkan oleh Tuhan untuk berperan dalam penyelamatan.

Lantas apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini. Lelaki subur berusia 35 tahun tersebut telah lama berkecimpung dalam dunia konservasi. Dimana kita sama-sama memaklumi. Orang yang tergerak dalam kegiatan konservasi adalah pelayan dunia.

Kakinya bisa jadi berpijak dibumi. Namun hatinya telah melangit. Terpaan ujian dan goncangan permasalahan telah menempa jiwanya. Bahwa dunia tidak akan baik-baik saja oleh perilaku cuek dan masa bodoh.

Ternyata setiap fase ujian adalah proses  seseorang untuk berhati mulia. Seperti kerang yang merasakan sakit serta pedihnya proses hingga menghasilkan mutiara.

Kompromi yang bisa kita lakukan adalah memandang secara jernih, tidak ada manusia yang dapat menghindar dari masalah. Karena masalah atau ujian adalah habitat hidup manusia.

Hanya sudut pandang yang bergeser. Kalau ujian atau masalah itu dinikmati sebagai jamu kehidupan. Maka akan menyehatkan dan menguatkan. 

Sedangkan ketika ujian dan masalah itu dianggap sebagai hukuman, maka jiwa akan melemah. Tubuh juga akan merapuh. Melihat apapun jadi gelap. Hati juga akan mengeras dan menumpuk menjadi gunungan ego.

Benang merah yang bisa kita tarik adalah, altruisme sangat berkaitan erat dengan tempaan kehidupan. Empati tumbuh justru karena terbiasa berbagi dan melayani. Dan inilah yang akan menjadikan indah Tamansari kehidupan.


Wallahu A'lamu Bish-Showab

Desa Menari, 2 Agustus 2023

Kang Tris DM

Pembelajar Kehidupan

Posting Komentar untuk "MEMUPUK JIWA ALTRUIS"