KETIKA HATI MENYAPA

 


KETIKA HATI MENYAPA

Anda pernah berada pada sebuah situasi yang ambigu? Dimana anda berjumpa dengan orang top. Perangkat duniawi melekat erat disetiap bagian hidupnya. Ketika anda kebetulan bertamu, hidangan mewah dan lengkap disuguhkan. Tapi anda di diamkan saja, tidak diajak bertegur sapa. Apa yang anda rasakan?

Sebaliknya ketika anda bertamu pada orang biasa saja tapi disambut dengan ketulusan. Pasti beda dong rasanya. Di Jawa ada konsep gupuh, aruh, rengkuh, lungguh, suguh.

Gupuh adalah antuasiasme dalam menyambut tamu. Aruh bermakna menyapa atau membuka percakapan agar tamu tidak canggung. Rengkuh adalah menerima kehadiran tamu dengan lapang dada. Lungguh berarti mempersilahkan tamu masih dan duduk. Suguh yaitu menghidangkan suguhan meski sederhana kalau ada.

Konsep Jawa tersebut adalah ekspresi hati yang menyapa. Ketika hati sudah berbicara dengan tulus. Ini akan menjadi medan magnet. Orang lain akan merasakan vibrasi ketulusan tersebut.

Pengalaman hati yang menyapa ini baru saja kami dapatkan pada Pak Iban dan keluarga di Mangunan Yogyakarta. Selain asrinya lingkungan rumah beliau. Sikap keluarga ini jauh lebih menenangkan.

Beliau adalah orang Jawa yang "biso nguwongke uwong". Arti bebasnya manusia yang bisa memanusiakan manusia. Sebuah slogan yang sering di dengungkan akhir-akhir ini. Rupanya ini menjadi kebutuhan di era destrupsi teknologi.

Saat kami datang, disambut dengan keramahan yang alami. Meski beliau seorang tokoh di kampungnya. Tidak mengurangi sikap andhap asornya. Beliau adalah Khotib sekaligus imam masjid di kampungnya. 

Kedalaman rasa telah mengendap dalam dirinya. Jauh dari sikap orang yang "merasa". Beliau dan istri dengan rendah hati melayani kami berlima yang sebagian besar anak-anak muda. Paling tidak dibandingkan dengan usia beliau. 

Menyuguhkan minuman dan makanan dengan penuh kesopanan. Menemani atau lebih tepatnya mendengarkan  obrolan kami sampai larut malam.

Ketika dingin menyergap, seolah tanggap dengan situasi. Segera beliau kedalam rumah. Ternyata keluar sudah membawa wedang uwuh yang panas. Beserta tiwul yang masih kemebul. Wow begitu hati kami ingin berteriak.

Saat kami mau pergi kegiatan, beliau juga meminta ijin kepada kami untuk membersihkan kamar. Terlepas itu memang SOP sebagai pemilik homestay. Namun cara beliau meminta ijin itu yang sungguh amazing.

Bahkan saat Pak Rahman, teman kami terbaring sakit. Beliau dengan penuh ketulusan merawat. Dari menyiapkan kebutuhan pribadi. Menengok ke kamar sesekali.

Rasa takjub bagi kami adalah saat Pak Iban berkenan untuk "ngeroki" Pak Rahman. Pelayanan tulus ini sepertinya menjadi terapi tersendiri bagi Pak Rahman. Terbukti pada malam hari Pak Rahman bisa tidur dengan pulas. Padahal hari sebelumnya sangat gelisah dalam tidur karena sakit yang dirasakan.

Pagi hari sebelum kami berpamitan untuk pulang. Istri beliau ternyata sudah menyiapkan sarapan. Sebelum Bu Iban berangkat kerja. Lalu Pak Iban mempersilahkan kami untuk sarapan.

Dengan rendah hati beliau menawarkan, maaf menunya seadanya njih pak. Pak Rahman hanya memakan tiwul, karena efek kemoterapi masih membuat beliau mual setiap melihat makanan.

Begitu saya buka, wow menunya bobor daun singkong beserta tempe bosok di dalamnya. Kemudian saya buka lainnya ada tempe goreng dan bandeng goreng. Tidak lupa kerupuk terung. 

Sederhana sekali, yes itu memang menu sederhana. Tapi bagi saya yang kebetulan menyukai menu itu terasa sangat istimewa. Terlebih disajikan dengan bumbu ketulusan. Rasanya jadi sangat luar biasa.

Tiga hari kami tinggal di rumah Pak Iban yang asri. Belajar tentang arti dari ketulusan dan pelayanan. Ketika itu menjadi jembatan dalam hubungan. Meski sebentar, namun bahagianya akan senantiasa terukir indah di hati. Semoga kita bisa belajar tentang pentingnya hati yang menyapa.


Wallahu A'lamu Bish-Showab

Desa Menari, 1 Agustus 2023

Kang Tris DM

Pembelajar Kehidupan


Posting Komentar untuk "KETIKA HATI MENYAPA"