MERASA CUKUP
Manusia sering dilanda resah dan gelisah mengenai kehidupannya. Terutama tentang kecukupan rejeki dalam hidupnya. Manusia rela membanting tulang pagi, siang, sore, malam bahkan ada yang dini hari untuk mencukupi kebutuhannya.
Namun kita sering mendapati, seolah berapapun yang diperoleh selalu terasa kurang untuk mencukupi kebutuhannya. Banyak manusia rela sikut-sikutan, bahkan ada yang sampai berbuat curang untuk mendapatkan harta.
Kekeliruan sudut pandang akan kebutuhan menjadi pemicu utama terjadinya konflik diri yang bisa jadi meluas kemana-mana. Manusia sering terombang-ambing dalam keinginan, bukan kebutuhan. Jadinya standar kebahagiaannya diukur dari pendapatan orang lain.
Saya jadi teringat salah satu penggalan materi yang disampaikan Gus Baha " Orang yang kebahagiaannya diukur kalau memiliki mobil, perhiasan, jabatan dan standar tinggi lainnya adalah orang yang bodoh. Sedangkan Allah cukup mengukur kebahagiaan pada makanan yang masuk ke mulut. Sederhana sekali kebahagiaan itu dalam ukuran pencipta kita".
Kalau standar ukuran kita adalah kebutuhan, maka sewajarnya kita merasa cukup. Seberapapun yang diberikan oleh Allah SWT. Karena memang ukuran rejeki masing-masing orang berbeda, ada yang ukuran cangkir, teko, gentong, bak dan bisa diperluas lagi. Hal ini adalah salah satu rahasia Allah untuk menjaga keseimbangan dan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Allah SWT juga menegaskan kalau seluruh kebutuhan mahluk telah dijamin. Mari kita perhatikan QS. Hud ayat 6 :" Dan tidak satupun mahluk bergerak (bernyawa) di bumi, melainkan semuanya dijamin oleh Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata ( Lauh Mahfudz) "
Merujuk pada ayat tersebut sudah sewajarnya kita merasa cukup. Termasuk sudut pandang bekerja / berusaha mencari rejeki, mari kita geser menjadi menjemput rejeki. Karena kalau mencari itu sesuatu yang bisa jadi ada bisa jadi ndak ada, dan tidak mesti ketemu juga dalam mencari. Tapi kalau menjemput sudah pasti itu ada, tinggal mau menjemput atau tidak.
Menarik pula pandangan Babinsa Herman yang viral karena kisah parodinya. Ketika ditanya oleh Dedy Corbuzier tentang cukup ndak gaji sebagai polisi. Dengan lugas beliau menjawab cukup dan tidak cukup itu dirasa. Kalau standarnya pakai logika, kita akan selalu mengukur pendapatan orang lain.
Lebih lanjut Babinsa Herman memberikan contoh yang unik. Rejeki itu diibaratkan seperti lampu petromak. Tentu bagi orang-orang sepuh di pedesaan familiar masa kecilnya dengan petromak. Lampu dinyalakan dengan bakar minyak tanah. Kalau mau nyala terang dibesarkan gasnya, tapi resikonya cepet habis. Kalau mau disetel standar agak meredup bisa menerangi lebih lama, bahkan bisa sampai pagi.
Begitu pula rejeki kita, kalau pengelolaan standarnya adalah ukuran pendapatan orang diatas kapasitas kita, pasti akan cepet habis dan uring-uringan. Kalau standarnya sederhana sesuai kapasitas kita masing-masing pasti mencukupi, bahkan bisa ada sisa. Kalau kita bisanya minum kopi di angkringan ya disitu saja dan syukuri, jangan memaksakan di mall, bisa langsung marah-marah karena harga yang berbeda jauh.
Maka penting bagi kita untuk belajar menggeser paradigma tentang rejeki. Lebih lanjut juga perlu belajar membedakan keinginan dan kebutuhan.
Karena kalau kita menuruti keinginan itu ibarat minum air laut, semakin banyak semakin haus. Keinginan seseorang hanya selesai ketika dia sudah tertanam di dalam tanah. Celakanya, orang yang didikte keinginan akan senantiasa dekat dengan penderitaan.
Wa'allahu a'lam bish-showab
Desa Menari, 3 Januari 2023
Kang Tris
Murid Sekolah Kehidupan
Sangat menarik ketika pernyataan di nyatakan dengan lugas dan logika yang logis....lanjot kang...
BalasHapus