MERAJUT MODAL SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DESA


MERAJUT MODAL SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DESA
                                                        Oleh : Kang Tris*
                       
Pembangunan merupakan jargon yang telah meresap kejantung kehidupan sosial masyarakat Indonesia secara luas. Bak mantra yang menyeruak kedalam batin individu dan komunitas sosial yang menjadi titik tumpu, dasar dan tujuan dari proses sosial. Begitu melekatnya mantra pembangunan ini, mendorong berbagai pranata sosial untuk menjadikan pembangunan sebagai isu yang terus menerus di gulirkan. Pemerintah menjadikan pembangunan sebagai jargon untuk melegitimasi program-programnya. Organisasi non pemerintah menjadikan pembangunan sebagai pesona yang elok untuk terus melaju dalam roda ekonomi organiasi dan penggeraknya. Masyarakat menjadikan pembangun sebagai mimpi yang terus dipertahanakan dan seolah enggan untuk terbangun, karena takut mimpi pembangunan mewujud menjadi kenyataan yang terkadang kurang sesuai dengan seperti apa yang mereka idealkan dalam mimpi yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Adakah yang salah dengan pembangunan?

Mari kita kupas mantra pembangunan dalam sudut pandang yang sedikit berbeda, yaitu dalam konteks pertumbuhan. Pertumbuhan yang kita ambil dari kata dasarnya terlebih dahulu yaitu tumbuh. Sebuah proses terus menerus untuk mewujudkan citra diri ideal, menjalanka fungsi dan peran yang diemban masing-masing serta berupaya secara optimal untuk memberikan manfaat sesuai kodrat kehidupannya. Terpenting adalah menjaga keseimbangan untuk terus meregerasi proses tumbuh kembangnya dalam menjaga keselarasan kehidupan. Ketika kita memaknai pembangunan sebagai proses perumbuhan maka akan memberikan spirit yang berbeda dalam khasanah kehidupan sosial.

Pertumbuhan senantiasa bertumpu pada sesuatu yang bersifat dasar, yaitu benih yang harus terus disemai, dirawat dan dijaga untuk kemudian dilakukan proses regenerasi agar nilai manfaat terus dapat dipetik. Pertumbuhan sebuah komunitas masyarakat diharapkan melahirkan kemandirian yang berujung pada kesjahteraan bersama. Ketika kita mengamati komunitas masyarakat nusantara ini, benih sosial yang mengakar pada nilai-nilai luhur, akar sejarah dan tradisi masyarakat sangatlah cukup untuk menjadi modal pelaksanaan pembangunan kemandirian didalamnya. Spirit keberagamaan, semangat kegotong royongan, welas asih dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya menjadi pijakan kita semua untuk menuju masyarakat yang “Merdesa”. Kata merdesa yang merupakan kelanjutan dari kata “desa” dalam bahas Jawa Kuno yang berarti tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut. Dalam makna lebih jauh lagi yaitu suatu kawasan yang merdeka dan berdaulat (Nurhady Sirimorok,2010).

Spirit Gotong Royong dalam mewujudkan kemandirian
Merdesa, harus betul-betul bisa kita wujudkan untuk mewujudkan kedaulatan, kemerdekaan masyarakat dan keadilan yang menjangkau lapisan masyarakat. Proses menuju kesana, merupakan kristalisasi kerja keras dari semua pihak. Perlu bahu membahu satu dengan lainnya untuk saling menguatkan menjadi bangunan yang indah. Banyak modal yang harus diinvestasikan dalam mewujudkan cita-cita besar tersebut. Dari berbagai modal yang diperlukan, ada satu modal yang bisa sangat murah dan berkesinambungan, yaitu modal sosial.

Gotong royong, menjadi alur dan jembatan untuk menggerakkan modal sosial lainnya, seperti pengorbanan imateri sampai material yang harus dikeluarkan. Berbagai kearifan lokal dapat dioptimalkan menjadi modal sosial yang memercepat proses pertumbuhan pembangunan menuju kemandirian. Diera digital ini, semangat gotong royong secara sosial bisa menjadi jembatan emas untuk memajukan daerah. Betapa dalam bebepara kasus kita dapat menyaksikan gerakan gotong royong yang digerakkan secara kreatif dalam gerakan digitaliasasi. Namun, ternyata tidak semua bisa kita gerakkan dalam pola yang sama. Pada tataran masyarakt komunal, terutama pedesaan yang masih mementingkan figure dan symbol tetap perlu ada media tersendiri.  Hal ini harus kita maknai secara positif agar ada nilai kemanusiaan yang tetap harus dipertahankan, yaitu rasa kangen untuk saling berjumpa.

Berdasarkan ulasan dan penelitian yang pernah saya lakukan, ternyata masyarakat pedesaan punya cara tersendiri dalam proses kolektif untuk distribusi informai,bahkan dalam pengambilan kebijakan. Ritual adat, symbol-simbol sosial menjadi media komunikasi yang efektif untuk menggerakkan masyarakat desa. Bahkan , masyarakat modern pun kini merindukan aspek symbol tersebut untuk mempersatukan mereka. Dalam proses pembuatan symbol sosial itulah kita temukan inti kemanusian mereka untuk saling berkomunikasi dalam tatataran rasa dan jiwa yang diwujudkan dalam gerakan gotong royong. Lantas, pertanyaan mendasar kita, bagaimana semangat gotong royong dalam mewujudkan kemandirian tersebut masih bisa tetap eksis di era digital ini?
Beberapa hal yang bisa kita cermati bersama-sama dalam rangka mewujudkan kemandirian masyarakat adalah hal-hal sebagai berikut :
  1. Tetap bertumpu pada kearifan lokal dan nilai-nilai luhur tatanan masyarakat
Kuno, begitu mungkin ungkapan yang akan dilemparkan pada kita yang tetap berusaha bertumpu pada nilai-nilai lokal. Banyak sekali intisari dan falsafah kehidupan yang tetap relevan dalam konteks kekinian dan justru akan menjadi filter bagi kita sendiri. Justru kekunoan akan menjadi paradok kehidupan yang saling melengkapi. Kemerdekaan sebagai komunitas masyarakat akan betul-betul dirasakan, ketika mereka bisa berjalan dalam alur nilai dan kearifan lokal yang mereka miliki, tanpa harus merasa minder mereka dicap sebagai orang yang ketinggalan jaman. Saya sering menyampaikan, perlunya ada proses embargo diri dalam hal-hal tertentu untuk menjaga agar tetap ada kebeningan dalam cara pandang dan sikap. Kita tidak perlu harus terjebak dalam ritme modernitas secara keseluruhan, ketika kita ingin tetap merasakan sejatinya kita sebagai sebuah komunitas bangsa yang bernama Indonesia. Karena lokalitas dan dan nilai-nilai luhur warisan kesejarahan kita tetap bisa dibingkai dalam kebhinekaan. Karena para leluhur bangsa kita sejatinya adalah orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri,sehingga menyediakan keluasan cakrawala piker dan ketulusan sikap untuk bersatu dalam payung besar nusantara raya.
  1. Optimalisasi potensi yang ada di tempat kita berpijak
Orisinalitas kita sebagai komunitas masyarakat ditunjukkan dengan berbagai potensi yang ada pada bumi dimana tempat kita dikandung, baik dari potensi budaya, adat istiadat, alam dan sumberdaya manusianya. Pengenalan secara utuh atas semua potensi yang ada pada daerah kita akan betul-betul menjadi pijakan awal dalam pengenbangan selanjutnya. Berbagai potensi yang ada harus kita sinergikan untuk menjadi benang merah dalam pembangunan holistic untuk menjalani hidup kekinian dan masa mendatang generasi kita. Dari berbagai potensi yang ada, dasar yang harus menjadi pijakan adalah pengembangan sumber daya manusia untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, namun tetap waras dengan nilai kesejarahan dan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Semua lini harus bisa tergerakkan setelah optimalisasi SDM, agar cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial betul-betul bisa membumi. Namun catatan yang perlu diingat adalah, optimalisasi potensi jangan sampai memecah belah kita semua dalam kepingan-kepingan individu dan kelompok yang justru akan merapuhkan roda pembangunan yang sedang dijalankan. Semangat gotong royong, kerelaan untuk saling mengisi dan kesadaran untuk menanggalkan ego sebagai yang paling berjasa harus melandasi gerakan optimalisasi potensi. Karena, ketika kita melepaskan pada nilai-nilai luhur yang dicelupi dengan spirit Ilahiah dan pengamalan nilai-nilai keagamaan, betul-betul akan menyeret kita pada egoism dan keserakahan. Hal ini, mengingat potensi bangsa kita yang sangat besar bagi yang sudah tersadarkan dari konteks lokalitas dirinya sendiri. Akan sangat cepat kita menjadisejahtera secara individu, kalau kita melepaskan diri dari nilai-nilai luhur, namun akan menjadi sumbu bencana sosial bagi lingkungan tempat kita berpijak.
  1. Tetap bijak dalam balutan digitalisasi
Saya sering mengimajinasikan, bahwa kekunoan, orisinalitas nilai dengan modernisasi seperti dua sisi mata uang yang bisa disandingkan. Dalam laju kencangnya modernisasi yang ditandai dengan mekanisasi dan digitalisasi aka nada ruang hampa dalam sisi terdalam kemanusiaan seseorang. Semakin canggih tatakelola kehidupan ini justru akan semakin menyeret manusia pada pencarian nilai yang sejati. Betapa kita dengan mudah menjumpai manusia yang kehilangan kebahagiaan dikala hidupnya dibalut dalam keserba adaan dan kemudahan teknologi. Karena semakin dikejar, akan semakin kita menuju pada ruang kehampaan diri. Pada sisi inilah kekunoan akan menjadi hal yang dirindukan. Maka, digitalisasi potensi dan semua aspek kehidupan, akan memunculkan sisi lain yang dirindukan dari masa lalu kita. Inilah yang kita maksud dengan kekunoan dan modernisasi adalah dua sisi mata uang.

Disaat orang lain terus berpacu dalam derap modernisasi, beruntunglah orang yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri untuk tetap hidup secara wajar dan menjalani hidup secara falsafah kuno para leluhur bangsa. Karena sekarang dan mengarah kedepan akan menjadi tren yang terus mengiringi modernisasi. Maka hal-hal yang bersifat kuno dalam warisan budaya dan perilaku sosial kita perlu bersinergi dengan digitalisasi. Hal ini dalam rangka untuk terus menyebarkan nilai dan sebagai ruang terapi sosial bagi waham modernisasi dan digitalisasi berbagai aspek kehidupan. Justru kalau kita kaji lebih jauh, orang-orang yang bisa kembali ke pola hidup kuno ibarat barang antic yang akan terus diburu untuk mengisi ruang kosong batiniah manusia modern. Hal ini bisa kita lihat secara empiris dengan gerakan Revolusi Dapur di Bali atau Pasar Papringan di Temanggung. Kedua contoh tersebut adalah gerakan yang mengajak orang untuk menjalani hidup secara kuno. Karena bisa berdamai dengan digitalisasi, justru bisa menjadi daya ungkit tumbuh kembangnya masyarakat menjadi berdaya dan sejahtera. Dua gerakan ini adalah contoh aktivitas dari orang-orang yang bisa menggerakkan modal sosial secara optimal untuk kemudian tumbuh kembang bersama masyarakat dalam pilar kemandirian.

Konsep Pentahelix Menuju Kemandirian Desa
Membangun Indonesia dari pinggiran, itu menjadi salah satu entri poin kebijakan dari Presiden Jokowi. Hal ini harus bisa kita terjemahkan secara cerdas sebagai anak bangsa. Membangun Indonesia dari pinggiran bisa dimaknai dari daerah terluar negara kita, namun juga bisa kita maknai secara spesifik dengan membangun Indonesia dari Desa, karena mayoritas komunitas masyarakat di negara ini tinggal di desa. Maka desa denga segala komponen dan potensinya harus segera gumregah untuk mengejar ketertinggalan dan kue pembangunan. Namun catatan yang harus diingat, dengan tetap mempertahankan kelokalan dan falsafah luhur para pendahulunya.

Konsep pentahelix yang di telorkan oleh Kementrian Pariwisata bisa menjadi kerangka berpikir untuk mengembangkan sebuah komunitas entah dengan pendekatan wisata ataupun tidak. Konsep Pentahelix merupakan upaya untuk mendorong proses pembangunan yang tumbuh dan berkembang dari bawah, sehingga di harapkan sesuai dengan aspirasi masyarakat bawah. Pentahelix menandaskan perlunya sinergi harmonis antara kelima komponen pembangunan yang terangkum dalam ABCGM yaitu academician, Business, Community, Government, Media. Rajutan harmonis kelima komponen tersebut akan mendorong masyarakat lebih berdaya dan memunculkan lompatan yang cepat untuk daerahnya. Hal ini tentu berujung pada distribusi keadilan dan kesejahteraan secara meluas bagi lapisan masyarakat. Semoga kita sebagai masyarakat, bisa menjadi bagian positif untuk pembangunan bangsa ini dengan tetap berpijak pada kearifan lokal nusantara.

*Pegiat dan ketua Pokdarwis Desa Menari

Posting Komentar untuk "MERAJUT MODAL SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DESA"