MENYALAKAN LILIN MENEBAR CAHAYA



MENYALAKAN LILIN MENEBAR CAHAYA
Kang Tris*


 Hidup adalah soal pilihan, apakah kita akan benar-benar menjadi manusia yang utuh secara pribadi maupun sosial, ataukah hanya menjadi pelengkap saja dalam pentas jagat kehidupan. Pilihan atas peran yang kita ambil dari dua sisi kemanusiaan kita tentu mengandung konsekuensi masing-masing baik dari segi tanggungjawab maupun resiko. Ketika kita memilih untuk menjadi manusia yang betul-betul hidup, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk kita merasa kalah, lemah dan tak berdaya, karena dipundak kita telah tersemat tanggungjawab kehidupan yang besar, yaitu untuk bersama-sama menjadi khalifah Allah dalam rangka memayu hayuning bawana. Mengambil peran untuk bersama-sama mewujudkan tata kelola kehidupan mikrokosmos dan makrokosmos dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama serta harmoni kehidupan yang tetap selaras. Pilihan kedua adalah apakah kita sekedar hidup saja. Mengikuti arus, menikmati keadaan dan ujung-ujungnya bersikap apatis atau masa bodo, yang penting gua happy. Maka jangan salah kalau hidupnya kadang tidak diperhitungkan, atau bahkan akan diburu keadaan karena telah ikut andil mengacaukan tata kosmos kehidupan. Terpenting harus siap dihempaskan, karena ibarat residu pada tubuh yang harus cepat-cepat disingkirkan agar tidak jadi benalu, lebih jauh menjadi sumber penyakit kehidupan.
Kita fokus pada pembahasan mengenai pilihan manusia yang betul-betul hidup dan abaikan sejenak pada pilihan seolah-olah hidup. Titik dasar pijakan yang harus kita kuatkan sebagai manusia adalah menyelesaikan urusan mikrokosmos atau jagad kecil kita terlebih dahulu. Landasan filosofis teologis harus kuat mengakar pada diri kita agar tidak mudah tumbang. Selayaknya sebatang pohon yang semakin tinggi dan besar harus semakin kuat mengakar kedalam dasar bumi. Akar yang kuat sebagai manusia adalah nilai dasar yang diyakini dengan penuh kesadaran. Itulah yang sering disebut dengan iman atau keyakinan kepada Tuhan atau sesuatu kuasa diluar diri kita. Dalam sudut pandang Islam, desebut sebagai nilai-nilai tauhid. Kenapa untuk menjadi manusia yang berdaya dan memberdayakan harus dilandasi dengan tauhid ? Pertanyaan yang mungkin sering berkecamuk pada diri kita kaum muda dan para peziarah kehidupan ini. Prinsip dasar Tauhid ini sudah familiar kita dengar yaitu pada Q.S Al Ikhlas. Pokok-pokok ajaran dasar yang harusnya menghujam kuat sampai ke dasar kehidupan kita, bukan hanya bertebaran bagaikan bintang yang gemerlap dalam cakrawala pikir kita, begitu fasih kita menceritakan kembangan atau penafsiran dari Q.S Al Ikhlas tersebut, namun masih sering gamang menjalani kehidupan ini, karena dihantui oleh kekhawatiran-kekhawatiran yang kita khayalkan sendiri dan terkadang menyeret kita pada kesyirikan.
Nilai-nilai dasar tauhid yang tidak benar-benar tegak pada diri kita akan mengakibatkan kita terselimuti oleh bayang-bayang kecemasan. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi pembawa lilin penerang atau penunjuk jalan terang yang menjadi bagian gerakan pencerahan ketika kita masih terselimuti oleh ilusi kehidupan yang bertebaran di sekeliling kita. Jadi seorang penggerak kehidupan harus terus menerus menguatkan akar tauhidnya agar bisa kuat menghadapi terpaan kehidupan. Baginya hari demi hari adalah sebuah proses pelayanan makrokosmos dalam rangka membangun keseimbangan dengan mikrokosmos. Kesetiaan pada tugas yang diberikan pada dirinya adalah sebuah jalan atau tarekat dalam bahasa para Salik untuk menghamba pada yang sejatinya Tuhan yaitu Allah SWT. Kesadaran diri yang menuntun dirinya pada pemahaman tugas apapun yang dilakukan adalah amanah sebagai hamba, sehingga tidak ada kekhawatiran sedikitpun akan dirinya, karena keyaninannya sudah bulat bahwa penjamin hidupnya hanyalah Allah SWT. Ini yang selayaknya harus terpatri kuat pada diri para pelayan kehidupan, bukan merengek meminta belas kasihan kepada sesama pejalan atau para peziarah kehidupan yang juga masih melakukan suluk. Selama para pelaku kehidupan masih menggantungkan pada sesama pelaku atau kembang kehidupan, maka dia akan terus tertatih bukan untuk menebar manfaat, namun bergulat dengan benang ruwet dirinya.

Pertapa Yang Ksatria
Pemaparan diatas, adalah pilar religius yang harus terus dibangun dan di tegakkan untuk menebar manfaat. Ibarat dalam kisah, penegak tauhid adalah seorang pertapa. Setelah menyelesaikan pertapaan pribadi atau uzlah dalam  rangka membangun akar yang kuat, maka sang salik harus berani topo ngrame. Sebuah upaya untuk menguji kadar tauhid dan religiusitasnya dalam belantara kehidupan. Disinilah seorang pertapa harus siap bermetamorfosis jadi seorang ksatria. Ksatria disini bukanlah terkait status kasta atau jabatan elitis dalam sebuah struktur sosial kemasyarakatan. Siapapun dia yang berani untuk memayu hayuning bawana atau siap menjadi pelayan sosial untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama, maka dialah seorang ksatria. Orang yang selalu gelisah melihat kejumudan masyarakat dan ketidak adilan sosial. Bisa jadi dia adalah seorang petani, pedagang, guru, tukang tambal ban, tukang ngarit dan apapun profesi duniawinya, namun selama dia memberikan hidupnya untuk orang lain, dialah ksatria.
Membaca realitas sosial untuk kemudian merumuskan dan melakukan kerja-kerja sosial adalah salah satu tanggungjawab seorang ksatria. Namun harus dilandasi nilai-nilai religius, spiritual, wahyu atau apapun orang menyebutnya, dan saya lebih condong kepada spirit tauhid agar dia membabar diri sebagai satrio pinandito. Karena, banyak orang yang awalnya bertindak selayaknya kesatria, namun ketika sudah mapan secara posisi dia lupa pada tugas pelayanannya. Ada juga yang berpura-pura berlaku seperti kesatria, namun hanya untuk dapat data akhirnya jual beli data untuk proyek semata yang ujung-ujungnya perut sendiri yang di besarkan. Maka nilai-nilai religiusitasnya harus betul-betul mengakar untuk melandasi gerak dan mengerem apabila sudah mulai oleng kendalinya ketika berada di zona kenyamanan.
Terus berikhtiar mencari solusi atas berbagai persoalan di tempat dia tinggal dengan landasan karena kesadaran akan tugas ke khalifahan. Maka denyut nadi masyarakat, baik kebudayaan, profesi masyarakat tata kelola lingkungan serta problem kemiskinan, pendidikan dan kejumudan masyarakat adalah peran yang harus terus disematkan pada para salik yang berproses menjadi satrio pinandito. Mereka adalah para pekerja dalam kesunyian yang sudah tidak risau dengan bising kehidupan. Jiwanya telah utuh untuk gandulan sepenuhnya hanya pada Gusti Allah. Kerjanya adalah kerja spiritual, geraknya adalah gerak pelayanan sebagai hamba dan gajinya sudah bukan lagi urusan transaksional dengan manusia, namun langsung dengan Allah Sang Maha Pemberi rejeki. Merekalah para karyawan Gusti Allah yang siap meleburkan diri dalam cocok tanam  kehidupan untuk bersama-sama mewujudkan tata kelola masyarakat yang menuju pada keamanan dan kesejahteraan bersama. 

Membumikan Gagasan
Satrio Pinandito adalah orang-orang intelektual yang membumi dan belum pernah menyatakan diri lulus dari universitas kehidupan. Logika keilmuannya terbangun bukan  hanya berdasar pada satu teori ke teori lainnya atau pada tumpukan buku yang pernah di baca belaka. Namun lebih jauh, teorinya berangkat dari kondisi sejarah masyarakat, realita sosial tempat dia belajar serta denyut nadi masyarakat yang merupakan guru kehidupannya. Mereka bisa terabaikan dipanggung perdebatan, namun merayap masuk kejantung persoalan masyarakat. Kerjanya adalah belajar bersama masyarakat, mencari solusi bersama untuk kemudian bersama-sama melakukan  transformasi sosial. Mereka belajar untuk merumuskan visi bersama dan berusaha berjalan pada visi yang dibangun. Hari demi hari adalah tahapan mewujudkan cita-cita besar yang dilandasi kesadaran Ilahiah, bahwa yang mewujudkan cita-cita, impian, visi adalah Gusti Allah, bahkan kesadaran itu lebih dalam lagi, yaitu sampai ke titik kesadaran, bahwa visi yang terbangun adalah karunia Allah yang harus terus di syukuri.
Intelektual humanis merupakan orang yang senantiasa menyandarkan pada kesadaran religius. Dia belajar untuk menangkup jejak cahaya sebagai penuntun jalan di tengah kegelapan harapan, apatisme masa depan dan kurungan hedonisme. Dirinya belajar menjadi lilin, meleburkan ego intelektual dan rasa kamanungsannya untuk memberi nyala terang bagi sekelilingnya. Belajar menjadi lilin adalah belajar tentang keikhlasan, meniadakan ego, mengosongkan aneka keinginan untuk kemudian menyiapkan diri untuk bertransformasi menjadi cahaya. Lebih jauh, terus mengosongkan diri dan menyadari sepenuhnya bahwa dirinya hanyalah  pantulan dari keindahan Sang Maha Cahaya. Seorang salik akan terus melakukan suluknya selayaknya lilin untuk menebar cahaya dengan terus meniadakan dirinya agar DIRINYA saja yang maujud dalam jagat kehidupan ini. Mari terus melakukan ziarah kehidupan sampai batas titik yang diberikan oleh-Nya sebelum kita melebur kembali dalam pangkuan-Nya.

  • Penulis adalah Pegiat Desa Menari Wisata Tanon Lereng Telomoyo

Posting Komentar untuk "MENYALAKAN LILIN MENEBAR CAHAYA"