Kang Tris*
Kita
fokus pada pembahasan mengenai pilihan manusia yang betul-betul hidup dan
abaikan sejenak pada pilihan seolah-olah hidup. Titik dasar pijakan yang harus
kita kuatkan sebagai manusia adalah menyelesaikan urusan mikrokosmos atau jagad
kecil kita terlebih dahulu. Landasan filosofis teologis harus kuat mengakar
pada diri kita agar tidak mudah tumbang. Selayaknya sebatang pohon yang semakin
tinggi dan besar harus semakin kuat mengakar kedalam dasar bumi. Akar yang kuat
sebagai manusia adalah nilai dasar yang diyakini dengan penuh kesadaran. Itulah
yang sering disebut dengan iman atau keyakinan kepada Tuhan atau sesuatu kuasa
diluar diri kita. Dalam sudut pandang Islam, desebut sebagai nilai-nilai
tauhid. Kenapa untuk menjadi manusia yang berdaya dan memberdayakan harus
dilandasi dengan tauhid ? Pertanyaan yang mungkin sering berkecamuk pada diri
kita kaum muda
dan para peziarah kehidupan ini. Prinsip dasar Tauhid ini sudah familiar kita
dengar yaitu pada Q.S Al Ikhlas. Pokok-pokok ajaran dasar yang
harusnya menghujam kuat sampai ke dasar kehidupan kita, bukan hanya bertebaran
bagaikan bintang yang gemerlap dalam cakrawala pikir kita, begitu fasih kita
menceritakan kembangan atau penafsiran dari Q.S Al Ikhlas tersebut, namun masih
sering gamang menjalani kehidupan ini, karena dihantui oleh
kekhawatiran-kekhawatiran yang kita khayalkan sendiri dan terkadang menyeret
kita pada kesyirikan.
Nilai-nilai
dasar tauhid yang tidak benar-benar tegak pada diri kita akan mengakibatkan
kita terselimuti oleh bayang-bayang kecemasan. Bagaimana mungkin kita bisa
menjadi pembawa lilin penerang atau penunjuk jalan terang yang menjadi bagian
gerakan pencerahan ketika kita masih terselimuti oleh ilusi kehidupan yang
bertebaran di sekeliling kita. Jadi seorang penggerak kehidupan harus terus
menerus menguatkan akar tauhidnya agar bisa kuat menghadapi terpaan kehidupan.
Baginya hari demi hari adalah sebuah proses pelayanan makrokosmos dalam rangka
membangun keseimbangan dengan mikrokosmos. Kesetiaan pada tugas yang diberikan
pada dirinya adalah sebuah jalan atau tarekat dalam bahasa para Salik untuk
menghamba pada yang sejatinya Tuhan yaitu Allah SWT. Kesadaran diri yang
menuntun dirinya pada pemahaman tugas apapun yang dilakukan adalah amanah
sebagai hamba, sehingga tidak ada kekhawatiran sedikitpun akan dirinya, karena
keyaninannya sudah bulat bahwa penjamin hidupnya hanyalah Allah SWT. Ini yang
selayaknya harus terpatri kuat pada diri para pelayan kehidupan, bukan merengek
meminta belas kasihan kepada sesama pejalan atau para peziarah kehidupan yang juga
masih melakukan suluk. Selama para pelaku kehidupan masih menggantungkan pada
sesama pelaku atau kembang kehidupan, maka dia akan terus tertatih bukan untuk
menebar manfaat, namun bergulat dengan benang ruwet dirinya.
Pertapa Yang Ksatria
Pemaparan
diatas, adalah pilar religius
yang harus terus dibangun dan di tegakkan untuk menebar manfaat. Ibarat dalam
kisah, penegak tauhid adalah seorang pertapa. Setelah menyelesaikan pertapaan
pribadi atau uzlah dalam rangka
membangun akar yang kuat, maka sang salik harus berani topo ngrame. Sebuah
upaya untuk menguji kadar tauhid dan religiusitasnya dalam belantara kehidupan.
Disinilah seorang pertapa harus siap bermetamorfosis jadi seorang ksatria.
Ksatria disini bukanlah terkait status kasta atau jabatan elitis dalam sebuah
struktur sosial kemasyarakatan. Siapapun dia yang berani untuk memayu hayuning
bawana atau siap menjadi pelayan sosial untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
bersama, maka dialah seorang ksatria. Orang yang selalu gelisah melihat
kejumudan masyarakat dan ketidak adilan sosial. Bisa jadi dia adalah seorang
petani, pedagang, guru, tukang tambal ban, tukang ngarit dan apapun profesi
duniawinya, namun selama dia memberikan hidupnya untuk orang lain, dialah
ksatria.
Membaca
realitas sosial untuk kemudian merumuskan dan melakukan kerja-kerja sosial
adalah salah satu tanggungjawab seorang ksatria. Namun harus dilandasi
nilai-nilai religius, spiritual, wahyu atau apapun orang menyebutnya, dan saya
lebih condong kepada spirit tauhid agar dia membabar diri sebagai satrio
pinandito. Karena, banyak orang yang awalnya bertindak selayaknya kesatria,
namun ketika sudah mapan secara posisi dia lupa pada tugas pelayanannya. Ada
juga yang berpura-pura berlaku seperti kesatria, namun hanya untuk dapat data
akhirnya jual beli data untuk proyek semata yang ujung-ujungnya perut sendiri
yang di besarkan. Maka nilai-nilai religiusitasnya harus betul-betul mengakar
untuk melandasi gerak dan mengerem apabila sudah mulai oleng kendalinya ketika
berada di zona kenyamanan.
Terus
berikhtiar mencari solusi atas berbagai persoalan di tempat dia tinggal dengan
landasan karena kesadaran akan tugas ke khalifahan. Maka denyut nadi masyarakat,
baik kebudayaan, profesi masyarakat tata kelola lingkungan serta problem
kemiskinan, pendidikan dan kejumudan masyarakat adalah peran yang harus terus
disematkan pada para salik yang berproses menjadi satrio pinandito. Mereka
adalah para pekerja dalam kesunyian yang sudah tidak risau dengan bising
kehidupan. Jiwanya telah utuh untuk gandulan sepenuhnya hanya pada Gusti Allah.
Kerjanya adalah kerja spiritual, geraknya adalah gerak pelayanan sebagai hamba
dan gajinya sudah bukan lagi urusan transaksional dengan manusia, namun
langsung dengan Allah Sang Maha Pemberi rejeki. Merekalah para karyawan Gusti
Allah yang siap meleburkan diri dalam cocok tanam kehidupan untuk bersama-sama mewujudkan tata
kelola masyarakat yang menuju pada keamanan dan kesejahteraan bersama.
Membumikan Gagasan
Satrio
Pinandito adalah orang-orang intelektual yang membumi dan belum pernah
menyatakan diri lulus dari universitas kehidupan. Logika keilmuannya terbangun
bukan hanya berdasar pada satu teori ke
teori lainnya atau pada tumpukan buku yang pernah di baca belaka. Namun lebih
jauh, teorinya berangkat dari kondisi sejarah masyarakat, realita sosial tempat
dia belajar serta denyut nadi masyarakat yang merupakan guru kehidupannya.
Mereka bisa terabaikan dipanggung perdebatan, namun merayap masuk kejantung
persoalan masyarakat. Kerjanya adalah belajar bersama masyarakat, mencari
solusi bersama untuk kemudian bersama-sama melakukan transformasi sosial. Mereka belajar untuk
merumuskan visi bersama dan berusaha berjalan pada visi yang dibangun. Hari
demi hari adalah tahapan mewujudkan cita-cita besar yang dilandasi kesadaran
Ilahiah, bahwa yang mewujudkan cita-cita, impian, visi adalah Gusti Allah,
bahkan kesadaran itu lebih dalam lagi, yaitu sampai ke titik kesadaran, bahwa
visi yang terbangun adalah karunia Allah yang harus terus di syukuri.
Intelektual
humanis merupakan orang yang senantiasa menyandarkan pada kesadaran religius.
Dia belajar untuk menangkup jejak cahaya sebagai penuntun jalan di tengah
kegelapan harapan, apatisme masa depan dan kurungan hedonisme. Dirinya belajar
menjadi lilin, meleburkan ego intelektual
dan rasa kamanungsannya untuk memberi nyala terang bagi sekelilingnya. Belajar
menjadi lilin adalah belajar tentang keikhlasan, meniadakan ego, mengosongkan
aneka keinginan untuk kemudian menyiapkan diri untuk bertransformasi menjadi
cahaya. Lebih jauh, terus mengosongkan diri dan menyadari sepenuhnya bahwa
dirinya hanyalah pantulan dari keindahan
Sang Maha Cahaya. Seorang salik akan terus melakukan suluknya selayaknya lilin
untuk menebar cahaya dengan terus meniadakan dirinya agar DIRINYA saja yang
maujud dalam jagat kehidupan ini. Mari terus melakukan ziarah kehidupan sampai
batas titik yang diberikan oleh-Nya sebelum kita melebur kembali dalam
pangkuan-Nya.
- Penulis adalah Pegiat Desa Menari Wisata Tanon Lereng Telomoyo
Posting Komentar untuk "MENYALAKAN LILIN MENEBAR CAHAYA"