AGAWE
PADANG KANTI SECANG LAN TELOROSO
Oleh : Kang Tris *
Proses
hidup setiap orang pasti dilalui dengan berbagai kisah perjalanan. Kadang kita dihadapkan pada
himpitan persoalan yang menyesakkan, namun disisi lain kita disuguhkan pada
rona keindahan yang membuat kita tertegun takjub. Silih berganti dan saling
melengkapi bentangan kisah yang kita jalani. Respon atas setiap dinamika
kehidupan yang kita jalani juga berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Bahagia dan duka muncul dalam persepsi atau cara pandang kita atas setiap kisah
yang kita jalani. Pembelajaran akan kisah kehidupan bisa kita dapatkan dari
tempat yang sangat egaliter yang banyak kita jumpai di Solo dan Yogyakarta yang
kini mulai menjamur ke berbagai wilayah. Wedangan atau angkringan orang
tertentu menyebutnya. Disitu orang bisa belajar satu dengan yang lain atau
sekedar mengespresikan rasa hidup. Belum bisa saya merasakan padanan tempat
nongkrong yang seegaliter wedangan, walaupun kini mulai merambah ke ranah ekslusif
juga. Namun soal rasa tetap tidak ada yang menandingi wedangan atau angkringan
kaki lima. Kita bisa menjumpai multi karakter disitu, bahkan kita bisa
membicarakan hal-hal yang remeh sampai hal yang sangat serius misalnya politik,
filsafat, ekonomi dan berbagai hal lainnya.
Wedhangan
berasal dari kata wedhang yang dalam ulasan bahasa jawa bisa kita maknai Agawe
Padhang. Penjual wedhangan menjadi figure sentral dan sangat berjasa karena
menjadi fasilitator yang baik. Bahkan dalam titik tertentu menjadi katalisator
atas berbagai persoalan yang ada. Mereka adalah orang-orang yang sangat
bersahaja namun sangat mulia menurut saya pribadi. Mereka dipanggil dengan
panggilan yang kadang tidak sepantasnya juga tetap tersenyum melayani. Dalam
remang lampu petromak atau bolam kecil mereka para penjual wedhanagn adalah
orang yang telah gawe padhang atau membuat jalan terang. Maka sepantasnya kita
memberikan salam ta’dzim kepada mereka, karena tanpa banyak kata mereka
mengajarkan arti melayani yang sesuangguhnya. Di sekitaran kampus, bahkan
mereka adalah benteng terakhir pertahanan para mahasiswa berkantong cekak,
karena hutang saja dilayani. Bahkan kalau ada yang ngemplang atau hutang
pura-pura lupa juga tetap dilayani dan dibiarkan saja.
Pelajaran
berharga dari kampus kehidupan yang bernama wedhangan ini sudah sepantasnya
kita bawa pada cakupan kehidupan yang lebih luas. Agawe Padhang atau memberikan
jalan terang atau kelapangan menjadi ajaran luhur agama maupun adat masyarakat
local. Jiwa melayani menjadi titik poin untuk membantu mengurai benang ruwet
persoalan ditengah kehidupan kita. Semangat untuk meringankan kesusahan orang
lain, bahkan bagi orang yang telah menyakiti kita adalah ilmu sepuh yang di
praktikan para penjual wedhangan. Merekalah para penjaga harmoni keselarasan
alam semesta. Memberi inspirasi tanpa harus menggurui sedikitpun. Maka siapapun
yang intens bergaul dengan mereka, terutama para petualang kampus yang
berkantong cekak akan memiliki kenangan indah yang tak terlupakan bersama
mereka.
Nostalgia
akan wedhangan menjadi spirit dan bisa kita sruput kembali selayaknya meminum
wedhang panas di angkringan di Desa Menari Wisata Tanon Lereng Telomoyo,
tentunya tidak leterlek seperti di wedhangan sekitaran solo ataupun Yogyakarta.
Ketika kita berwisata di Desa Menari setelah disambut hangat oleh warga
masyarakat dan diberikan kalung cinderamata, maka tahap selanjutnya adalah
mengambil welcome drink atau minuman selamat datang. Di sana kita akan disambut
dengan Wedhang Secang dan Gethuk Sawut Teloroso. Rasanya sangat pas dan cocok
dengan suasana lereng pegunungan yang berhawa sejuk. Wedhang Secang sendiri
kalau di solo atau Yogyakarta disebut dengan Wedhang Wuwuh, ada yang
menyebutnya Wedhang Uwuh sama isinya, namun beda makna sebenarnya. Disebut
Wuwuh karena mengandung makna wuwuhan atau berkah dari Gusti Allah, karena
kandungan yang ada betul-betul bisa membuat nyaman sekaligus sebagai terapi
bagi kita yang kurang enak badan. Dinamakan WWedhang Uwuh karena isinya
rempah-rempah yang dicampur menyerupai sampah. Itulah gambaran kehidupan kita
yang berisi aneka rupa dalam diri masing-masing.
Di
Desa Menari dinamakan Wedhang Secang yang diambil dari kata Yen Duwe Sedyo Kudu
Dicancang yang bermakana ketika punya cita-cita, hajat atau keinginan tidak
boleh diliarkan begitu saja, karena hanya akan menjadi buih di samudera
kehidupan. Pesan sederhana ini menguliti kita yang sering terombang-ambing oleh
liarnya pikiran dan berkecamuknya nafsu yang kalau tidak dikendalikan bisa
merusak tatanan kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan bahkan dalam skala
lebih luas lagi. Orang yang tidak bisa mengendalikan liarnya pikiran dan
keinginan tidak bisa diharapkan menjadi orang yang bisa agawe padhang atau
jalan terang kehidupan. Maka, sruputlan wedhang secang kehidupan dan segera lanjutkan
dengan menikmati Gethuk.
Gethuk
dalam khasanah bahasa jawa di artikan digeget mathuk yang bermakna bahwa
persetujuan kita akan sesuatu itu kalau sampai kita geget atau menggigit sampai
ke rasa, bukan hanya sekedar menikmati hidangan, namun sampai ke rasa terdalam
dari sebuah hidangan. Apa yang yahus di geget yaitu Teloroso. Teloroso
merupakan symbol dari Telenging Roso yaitu keterpaduan akal dan hati yang
dibimbing oleh Allah SWT. Hal ini menandaskan, bahwa hidup bisa teleng sampai
ke pusat hakiki penciptaan kita ketika kita menyadari bahwa ada yang
menghidupkan kita yaitu Allah Yang Maha Hidup. Ada norma atau aturan yang harus
kita ikuti dengan penuh kesadaran. Orang yang sampai pada telenging roso adalah
orang yang menjalani hidup dengan penuh kesadaran untuk menghamba hanya kepada
Allah SWT. Orang-orang inilah yang akan memberikan seluruh hidupnya hanya untuk
menjalani perintah Allah dan melayani ciptaannya. Jiwanya menjadi merdeka dan
tidak tergoyahkan dengan iming-iming duniawi yang bersifat fatamorgana. Dialah
orang yang mengendalikan dunia, bukan dikendalikan oleh dunia. Dalam bahasa
agama, dialah orang-orang yang bertakwa, yaitu orang yang berhati-hati dan dan
selalu mawas diri sebagai hamba.
Terjawab
sudah pertanyaan kita, kenapa Wedhang Secang itu pas disajikan dengan Gethuk
Sawut Teloroso. Karena memang keinginan kita atau sedyo harus dicancang dengan
telenging roso. Hal ini bermakna,
seberapa kuatpun keinginan kita, namun tidak menyadari sepenuhnya bahwa hanya
keinginan Allah SWT yang akan mewujud, kita akan mudah sekali terkena stress.
Maka, selalu sandarkan hidup kita dan seluruh hajat hanya kepada Dzat pemilik
hidup dan pengabul Hajat yaitu Allah SWT. Orang yang telah di Rahmati oleh
Allah dengan mengikatkan keinginan pada keinginan Allah lah yang akan bisa
agawe padhang. Bagaimana dia akan menerangi jalan, kalau dia saja berjalan
dalam kegelapan. Maka,kalau sudah meresapi hakikat dari wedhang secang dan
gethuk sawut Teloroso, kita layak untuk menggelar wedhangan atau angkringan
kehiduapan untuk memberikan pelayanan kepada makhluk-Nya. Mari, berlomba-lomba
dalam kebajikan dan taqwa.
- Penulis adalah Pegiat Desa Menari Wisata Tanon Lereng Telomoyo
Posting Komentar untuk "AGAWE PADANG KANTI SECANG LAN TELOROSO"